Batamramah.com, Batam - Kasus kapal tanker MT Arman 114 berbendera Iran kini memasuki babak baru yang membingungkan. Pengadilan Negeri (PN) Batam telah mengeluarkan dua putusan berbeda untuk kapal yang sama dalam perkara pidana, kapal dinyatakan dirampas untuk negara, namun dalam gugatan perdata, PN Batam justru memutuskan kapal dan muatannya harus dikembalikan kepada pemilik sahnya, Ocean Mark Shipping Inc.
Putusan perkara perdata dengan nomor 323/Pdt.G/2024/PN Btm dibacakan pada Senin (2/6/2025) oleh Majelis Hakim yang diketuai Benny Yoga Dharma.
Dalam amar putusannya, pengadilan dengan tegas menyatakan bahwa Ocean Mark Shipping Inc terbukti secara hukum sebagai pemilik sah Kapal MT Arman 114, termasuk muatan light crude oil sebanyak 166.975,36 metrik ton, serta seluruh dokumen kapal.
“Penggugat terbukti memiliki iktikad baik dan sah secara hukum sebagai pemilik Kapal MT Arman 114 beserta muatan dan dokumen kapal,” demikian kutipan amar putusan dalam pokok perkara.
Majelis hakim perdata juga memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menyerahkan kapal beserta dokumen pendukung kepada Ocean Mark Shipping Inc.
Putusan ini secara tidak langsung menegaskan bahwa amar putusan pidana nomor 941/Pid.Sus/2023/PN.Btm, yang menyatakan kapal dan muatannya dirampas untuk negara, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dalam konteks kepemilikan perdata.
Gugatan intervensi yang diajukan PT Pelayaran Samudera Corp melalui Direktur RM Bayu Purnomo ditolak seluruhnya. Demikian pula dengan eksepsi yang diajukan oleh tergugat—yakni Pemerintah Republik Indonesia melalui Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri Batam—juga tidak diterima oleh majelis.
Menanggapi putusan perdata ini, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Batam, Priandi Firdaus, menyatakan bahwa Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) masih menelaah isi putusan tersebut.
“Tim masih memiliki waktu tujuh hari untuk menyatakan banding dan tujuh hari lagi untuk menyampaikan memori banding,” ujar Priandi, mengindikasikan bahwa pemerintah akan menempuh jalur banding.
Kontradiksi ini semakin mencolok mengingat putusan pidana yang telah dibacakan pada Rabu, 10 Juli 2024. Dalam perkara pidana, majelis hakim yang diketuai Sapri Tarigan memang telah memutuskan kapal MT Arman 114 dan muatannya dirampas untuk negara.
Terdakwa Mahmoud Abdelaziz Mohamed Hatiba—warga negara Mesir sekaligus kapten kapal—yang disidang secara in absentia, telah dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp5 miliar subsidair 6 bulan kurungan.
JPU Karya So Imanuel dan Marthyn Luther dalam tuntutannya menyebut terdakwa tidak jujur selama persidangan dan dinilai berpotensi mengulangi perbuatan. Terdakwa juga terbukti mematikan sistem pelacakan otomatis (Automatic Identification System/AIS) saat berlayar menuju Laut Natuna, tempat terjadinya pelanggaran.
Menariknya, dalam proses pidana, sejumlah pihak yang mengklaim sebagai kuasa hukum pemilik kapal ditolak oleh majelis hakim karena tidak mampu membuktikan dokumen kepemilikan yang sah. Namun, kini di ranah perdata, bukti kepemilikan tersebut diterima.
Putusan yang berseberangan antara ranah pidana dan perdata ini jelas menunjukkan kompleksitas penanganan perkara lintas yurisdiksi, terlebih ketika menyangkut kapal asing dan dugaan kejahatan transnasional. Hingga saat ini, nasib akhir kapal MT Arman 114 masih belum sepenuhnya pasti.
Sengketa hukum ini berpotensi berlanjut ke tingkat banding atau kasasi, tergantung langkah hukum lanjutan yang akan ditempuh para pihak, menjadikannya sorotan penting dalam penegakan hukum maritim di Indonesia.